INGIN PASANG IKLAN ATAU ADVETORIAL DI SINI? HUBUNGI AYU DEVIE (+6281 916 405 532) ATAU WAYAN SUNANTARA (+6281 558 184 955)

Nelayan Dalam Jeratan Pengembak; Golongan Pekerja yang Termiskinkan

Dalam peta kesejahteraan penduduk, wilayah pesisir masuk sebagai salah satu kantong kemiskinan. Potret perkampungan nelayan yang terbekap dalam kemiskinan sudah menjadi menu tetap dalam sejarah ekonomi bangsa ini. Padahal, hampir seluruh rezim yang memimpin republik ini mengaku mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk membangkitkan ekonomi pesisir. Tapi tetap saja, identitas kemiskinan belum bisa tercabut dari komunitas nelayan.

Amat (bukan nama sebenarnya), hanya bisa mengangguk lesu saat ikan hasil tangkapannya dihargai sangat murah. Kegigihannya saat menghadapi ombak luruh di hadapan tengkulak, atau yang dalam pergaulan nelayan disebut dengan pengembak. Ketidakberdayaan nelayan asal Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, untuk mendapatkan harga ikan yang layak ini sebagai imbas dari modal yang diberikan pengembak tersebut. Bagi Amat dan banyak nelayan kecil lainnya, biaya operasional untuk melaut menjadi persoalan yang pelik. Pengembak yang tahu persoalan nelayan itu lantas menawarkan “jasanya”. Dengan perjanjian ikan hasil tangkapan harus dijual kepadanya, pengembak memberikan pinjaman modal. Karena kepepet, tanpa berpikir panjang tawaran tersebut langsung disambar para nelayan. Padahal, penerimaan atas tawaran itu merupakan awal malapetaka bagi nelayan kecil.

Penelusuran yang dilakukan media ini, nelayan yang terjerat pengembak sangat sulit untuk melepaskan diri. Meski sadar ikannya tidak mendapatkan harga yang layak, tapi kebutuhan akan modal untuk melaut sehari-hari tidak memberikan ruang untuk berpikir lebih jauh lagi tentang hal tersebut. “Kalau tidak pinjam ke pengembak, kami tidak bisa melaut karena tidak punya modal untuk beli solar dan lain-lain. Mau gimana lagi?” kata Amat saat ditemui Indep-News. Nelayan ini mengaku, hasil penjualan ikannya kepada tengkulak hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ironisnya, nelayan kecil yang terjerat dalam belitan jasa semu dari tengkulak ini jumlahnya mencapai ratusan orang di Kabupaten Jembrana.

Kondisi nelayan kecil tersebut dibenarkan dua tokoh pemuda Pengambengan, Mahrus Ali dan Mas Hariyanto (Arie). Dari dua orang ini diperoleh gambaran, bahwa belitan tengkulak sangat kuat mewarnai kehidupan nelayan kecil. Mahrus mengungkapkan, ada 2 jenis nelayan yang terjerat pengembak. Pertama, nelayan yang hanya mendapatkan pinjaman modal operasional saja. Dan yang kedua, nelayan yang selain modal operasional, juga mendapatkan suplai peralatan menangkap ikan. “Peralatan untuk menangkap ikan itu dibayar nelayan dengan cara mencicil,” kata Mahrus.

Ia menilai, apapun bentuk “jasa” yang diberikan pengembak, nelayan tetap menderita kerugian. “Saya melihat pengembak itu mengambil keuntungan dari sisi manapun. Baik saat menyediakan alat tangkap maupun saat membeli hasil tangkapan,” ujar Mahrus. Ia menyatakan, karena hanya mampu membayar dengan cara mencicil, nelayan harus membayar alat tangkap dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga sewajarnya. Lebih celaka lagi, acapkali nelayan harus kembali memperbaharui alat tangkapnya walau cicilan untuk alat tangkap sebelumnya baru lunas. “Mereka (nelayan-red) terus berada dalam genggaman pengembak tanpa mampu melepaskan diri. Sebab sekali saja nelayan ketahuan menjual ikannya ke pihak lain, alat-alat tangkapnya bisa diambil pengembak,” jelas Mahrus.

Sulitnya memutus mata rantai ketergantungan nelayan terhadap pengembak juga dikatakan oleh Arie. Pemuda lulusan IAIN Sunan Kalijaga ini mengungkapkan, terdapat selisih harga yang cukup tajam antara ikan yang dibeli pengembak dari nelayan dengan harga pasaran. “Selisih harganya itu antara Rp 5000 hingga Rp 6000 per kilogram,” katanya. Ia menilai, jika nelayan tidak harus menjual ikannya kepada pengembak maka selisih itu akan sangat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. “Perkilo saja selisihnya sudah segitu. Padahal dalam sekali melaut, nelayan kecil bisa mendapatkan ikan puluhan kilo. Apalagi ikan yang diperoleh nelayan ini rata-rata ikan kelas yang sebenarnya memiliki nilai jual yang cukup tinggi,” ujar Arie. Permainan lain yang diterapkan tengkulak untuk mendapatkan ikan dengan harga murah adalah dengan memilah ikan-ikan tersebut dalam beberapa kelas. Dalam penetapan kelas ikan ini, nelayan lagi-lagi tidak memiliki daya tawar apapun. “Seringkali ikan yang harusnya masuk kelas A dimasukkan ke dalam kelas B yang harganya lebih murah. Makanya, pengembak itu memang mendapatkan keuntungan dari seluruh aktivitas nelayan, mulai saat akan menangkap hingga saat nelayan mendapatkan ikan,” tegas Mahrus.

Menurut mereka berdua, siklus ketergantungan nelayan terhadap pengembak ini hanya bisa diputus oleh pemerintah. Sebab, diperlukan dana yang tidak sedikit untuk melakukan hal tersebut. “Cara itu sebenarnya gampang, tinggal pemerintah memberikan saja bantuan dana operasional kepada nelayan yang terikat pengembak. Tapi karena jumlah nelayannya lumayan banyak, dana yang dibutuhkan juga cukup besar,” kata Arie. Kalaupun pemerintah memiliki program ke arah itu, Mahrus menyarankan agar dialokasikan dana cadangan. Pemikiran Mahrus ini tidak lepas dari strategi yang biasa diterapkan pengembak saat ada pesaing potensial. “Saat ada saingan, pengembak langsung membeli ikan dengan harga yang tinggi dan menjualnya dengan murah. Pola ini mereka lakukan beberapa kali untuk membuat pesaingnya bangkrut. Kalau sudah bangkrut, mereka akan kembali membeli ikan nelayan dengan harga suka-suka,” jelasnya.

Adanya pengembak, tengkulak atau pengijon di kalangan nelayan kecil ini bukannya tidak disadari Pemkab Jembrana. Kepala Dinas Pertanian, Kelautan dan Kehutanan Jembrana, IGN. Sandjaja, membenarkan hal tersebut. Untuk mengatasinya, Sandjaja yang didampingi Kabid Kelautan fan Perikanan, Oka Keniang, mengungkapkan ada program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Untuk menjalankan program tersebut, pemerintah bekerjasama dengan koperasi-koperasi nelayan untuk menyalurkan dana. Di Kabupaten Jembrana, koperasi yang mendapatkan kepercayaan untuk pengelolaan dana tersebut adalah Koperasi Baruna dan Koperasi Jimbarwana Mandiri. “Koperasi inilah yang kita harapkan menyalurkan dana ke nelayan sehingga bisa memutus ketergantungan mereka terhadap pengembak,” kata Sandjaja.

Koperasi yang menyalurkan dana itu boleh jadi memang ada. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan nelayan kecil masih saja bergulat dengan kemiskinan. Harus diakui, hingga saat ini belum terlihat peningkatan kesejahteraan yang konkret di kalangan nelayan sebagai imbas dari dana pemerintah yang konon jumlahnya milyaran rupiah tersebut. Arie, Mahrus dan Masahudin menilai, efek peningkatan kesejahteraan yang belum maksimal itu karena pengelola koperasi tidak melakukan penelitian secara komprehensif apa yang menjadi akar permasalahan nelayan kecil. “Kalau hanya diberi dana, diikat dengan kontrak harus mengembalikan dana tersebut lalu ditinggal, nelayan akan tetap miskin. Yang diperlukan adalah, selain diberi dana juga diperlukan pendampingan yang intens agar usaha yang digeluti nelayan terus berkembang,” ujar Arie.

Ide untuk membentuk koperasi yang berlokasi dan dikelola warga nelayan ini, mendapatkan respon positif dari Dinas Pertanian, Kelautan dan Kehutanan maupun Dinas Perindagkop dan PMD Jembrana. Sandjaja menyatakan, pihaknya siap membantu keberadaan koperasi tersebut. “Soal teknis pembentukan koperasinya, warga bisa konsultasi ke dinas terkait. Kami juga siap memberikan pembinaan sesuai dengan bidang tugas kami,” kata Sandjaja. Dukungan serupa juga dilontarkan oleh Kepala Dinas Perindagkop dan PMD Jembrana, Made Sudantra. Ia mengungkapkan, pemerintah memberikan perhatian yang besar terhadap koperasi nelayan. Agar koperasi-koperasi yang berurusan dengan nelayan bisa sehat, pekan lalu Sudantra memanggil 6 koperasi untuk mendapatkan pembinaan.
BACA JUGA :


Comments :

0 komentar to “Nelayan Dalam Jeratan Pengembak; Golongan Pekerja yang Termiskinkan”

Posting Komentar