INGIN PASANG IKLAN ATAU ADVETORIAL DI SINI? HUBUNGI AYU DEVIE (+6281 916 405 532) ATAU WAYAN SUNANTARA (+6281 558 184 955)

MANAJEMEN KOTA NEGARA; Sudah Tepat, Tinggal Optimalisasi

Belakangan ini istilah manajemen kota menjadi wacana yang cukup menarik untuk didiskusikan. Hal ini berhubungan dengan, bagaimana sebuah pemeritahan mengelola wilayah kota dan komunitas sosialnya dalam dimensi public service. Sebutlah itu Kota Jakarta sebagai ibu kota negara, sekaligus menjadi wajah dari sebuah negara bangsa di dalam mengelola wilayah kotanya yang tergolong metropolitan, bahkan menuju megapolitan dengan kawasan penyangga, Bogor, Depok. Tangerang dan Bekasi, yang selalu menjadi kontroversi dengan berbagai penyakit sosial dan lingkungannya.

Rutinitas bencana banjir yang datang secara berkala dan dapat diduga, penyakit macet total pada ruas-ruas jalan baik protokol maupun jalur alternatif pada jam-jam tertentu, masalah sampah, pedagang kaki lima (PKL), daerah hijau kota, transportasi, prostitusi, atau penyakit sosial serta lingkungan lainnya, dapatlah menjadi contoh. Semuanya seolah numpek blek di Ibu Kota Jakarta dan “beranak-pinak” setiap tahunnya, seirama dengan dinamika dan pertumbuhan kota yang terasa semakin tidak terkendali.

Fenomena sama juga terjadi di kota-kota besar lainnya di republik ini. Surabaya sebagai ibu kota terbesar kedua setelah Kota Jakarta dengan kawasan Pelabuhan Tanjung Peraknya ataupun kawasan Industri Rungkut, senantiasa dibelit berbagai masalah. Atau Kota Semarang dengan kondisi dan keberadaan wilayah kotanya yang berbukit, menjadi gampang banjir dan tergenang air. Kota Medan hingga Kota Makasar yang selalu menjadi ramai dan hiruk pikuk oleh masalah sosial kota. Demikian juga dengan Kota Bandung hingga Kota Denpasar. Semuanya bergulat dengan permasalahan domestik kotanya sendiri-sendiri. Lantas bagaimana dengan Kota Negara sebagai Ibu Kota Kabupaten Jembrana yang juga merupakan pintu gerbang Bali bagian barat lewat jalur darat?

Antisipasi
Kalau ditilik lebih jauh, maka rata-rata permasalahan yang dihadapi kota-kota di Indonesia berkisar pada masalah banjir, sampah, transportasi, lingkungan, serta masalah-masalah sosial yang disebabkan oleh dinamika sosial ekonomi yang menyertai perkembangan kota itu sendiri. Mulai dari masalah kriminal, prostitusi, sampai Gepeng (gelandangan dan pengemis-pen) dan terbatasnya ruang publik untuk masyarakat.

Kalau kemudian ditarik untuk memasuki wilayah Kota Negara sebagai Ibu Kota Kabupaten Jembrana berikut bangunan sosial dan peradaban manusiawi, maka semua “penyakit kota” itu akan menjadi sangat mungkin terjadi atau dapat saja diminimalisir jika pemerimntah dan juga masyarakatnya memiliki kepekaan-kepekaan sehingga penyakit yang terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia itu tidak terjadi di Kota Negara. Apalagi, sampai menjadi penyakit kota yang menahun dan beranak pinak.

Penyakit Sosial
Ada beberapa langkah atau strategi antisipatif yang telah dilakukan Pemkab Jembrana di dalam mencegah kemungkinan terjadi dan terjangkitnya penyakit kota, baik dari sisi sosial maupun lingkungan. Seperti yang disampaikan Bupati Jembrana, Prof. Dr. I Gede Winasa, seluruh penyakit sosial itu berawal dari manusia, dalam hal ini kependudukan. Maka langkah-langkah strategis di dalam pengendalian kependudukan sejak awal sudah menjadi prioritas utama bagi Pemkab. Jembrana untuk menghadapi terjadi dan terjangkitnya penyakit sosial di Kota Negara, pun Kabupaten Jembrana.

Tentu masih lekat dalam ingatan masyarakat, bahwa sejak kepemimpinan Prof. Winasa sebagai Bupati Jembrana-lah kebijakan untuk melakukan pemeriksaan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) diberlakukan di kawasan Pelabuhan Gilimanuk sebagai pintu gerbang jalur darat dari Jawa ke Bali dan sebaliknya. Kebijakan ini awalnya memang mendapatkan tantangan dari berbagai pihak. Mereka menyatakan bahwa dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, Prof. Winasa seolah menutup akses masyarakat luar untuk masuk Bali. Tetapi setelah dirasakan manfaatnya, kebijakan ini justru berbalik dan didukung berbagai pihak, termasuk oleh orang-orang yang sebelumnya menentangnya.

Demikian juga dengan berbagai kebijakan berupa operasi penertiban administrasi kependudukan yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Jembrana. Seperti juga kebijakan di bidang kependudukan, pada awalnya operasi penertiban kependudukan yang dilakukan Satpol PP Pemkab Jembrana juga menuai tantangan dan reaksi yang sangat keras. Tetapi seteleh mulai berjalan dan manfaatnya mulai dirasakan masyarakat, kini operasi kependudukan ini justru mendapatkan dukungan luas secara sosial. Masyarakat mulai merasakan, dengan adanya berbagai operasi yang dilakukan Satpol PP Pemkab Jembrana, keamanan, kenyamanan dan ketenteraman sosial kemasyarakatan mulai terasa.

Kebijakan ini pun kemudian berimbas pada sisi penyakit sosial masyarakat. Berbagai penyakit sosial yang ada dan menjangkit di Kota Negara mulai dapat dikendalikan atau dideteksi sejak dini. Sebutlah itu penyakit sosial berupa praktek prostitusi. Untuk wilayah Kota Negara dan Kabupaten Jembrana, kini sudah mulai berkurang. Kalaupun pelaku prostitusi masih ditemukan atau terjaring, itu pun lebih bersifat temporer dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan bersifat perorangan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, keberadaan praktek prostitusi di Kabupaten Jembrana terkesan terlokalisir dan terkoordinir di beberapa kawasan seperti Gilimanuk dan Batu Karung yang demikian melegenda.

Atau juga dengan penyakit-penyakit sosial lainnya seperti kriminalitas ringan, premanisme, mabuk-mabukan, kebut-kebutan, sampai keberadaan PKL dan Gepeng, semuanya menjadi lebih terkedali dan dapat ditekan seminimal mungkin oleh keberadaan berbagai operasi sosial yang dilakukan Satpol PP Jembrana dan lembaga non pemerintah, serta instansi terkait lainnya.

Bagaimana dengan penyakit kota yang berhubungan dengan lingkungan dan pelayanan umum?

Tunggu pada edisi berikutnya!
BACA JUGA :


Comments :

0 komentar to “MANAJEMEN KOTA NEGARA; Sudah Tepat, Tinggal Optimalisasi”

Posting Komentar