Dibandingkan pada masa Orde Baru, pengelolaan informasi dan komunikasi di dalam pemerintahan yang berdaulat dengan embel-embel reformasi dewasa ini memang jauh tertinggal. Tidak hanya pada tataran pemerintahan di pusat, hal yang sama juga terjadi pada tataran dibawahnya, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Bahkan tak jarang, lemahnya pengelolaan manajemen informasi dan komunikasi oleh pemerintah ini menimbulkan berbagai kebingungan di masyarakat. Atau, tugas di bidang informasi dan komunikasi yang seharusnya juga merupakan salah satu tugas pemerintah, secara absolut diambil alih oleh media, dengan pendekatannya sendiri.
Tentu bukanlah sesuatu yang haram atau keliru jika pemerintah menginformasikan segala perilaku ketatapemerintahan dan pembangunannya kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di sebuh negara.. Karena bagaimanapun juga, telah menjadi tugas dan kewajiban pemerintahlah untuk melaporkan atau menginformasikan setiap perilakunya kepada masyarakat, sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban kerja dan kinerjanya, termasuk juga pengabdiannya. Karena seperti yang sering dilontarkan secara awam, bahwa yang dikelola pemerintah itu adalah uang rakyat, bukan uang nenek moyangnya.
Kegagalan di dalam mengelola manajemen informasi dan komunikasi dari sebuah pemerintahan sering mendatangkan dampak buruk bagi pemerintahan itu sendiri. Tetapi hal ini bukanlah berarti bahwa pemerintah harus tunduk dan takluk kepada kemauan media sehingga menjadi takut kalau diwartakan sisi buruknya. Karena sebagai pilar demokrasi ke empat, media sejatinya memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah di dalam membangun peradaban dan keadaban bangsanya. Meskipun juga harus diakui, memang tidak banyak media yang menyadari akan kesejatiannya itu.
Deppen?
Haruslah diakui, salah satu kehebatan pemerintahan Orde Baru dengan patron Jenderal Besar Soeharto adalah kemampuannya di dalam mengendalikan arus informasi dan komunikasi secara absolut sehingga menjadi sangat memihak kepada kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan negara. Di sini terpatri nama-nama besar dibidangnya, seperti Ali Murtopo dan Harmoko, dengan ucapan pembukanya yang khas; “menurut petunjuk Bapak Presiden”, sebagai pemain utama di bidang informasi dan komunikasi.
Ketika di awal-awal reformasi, mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengambil langkah radikal dengan membubarkan Departemen Penerangan, dan juga Departemen Sosial. Sangat terasa terjadinya guncangan-guncangan kecil yang berhubungan dengan pertanyaan yang mengambang mengenai apa dan siapa yang harus mengambil peran sebagai juru bicara atas nama negara. Dan kegamangan akan peran departemen sebagai juru bicara negara itu rupanya hingga kini tetap gamang dan tidak pernah jelas. Bahkan, menjadi semakin tidak jelas.
Alasan pembubaran Departemen Penerangan oleh Gus Dur yang dilatarbelakangi oleh keinginan mulia di dalam upaya membangun masyarakat madani di bidang informsi dan komunikasi memang tidaklah keliru. Mungkin hanya waktunya saja yang kurang tepat. Karena secara nyata, masyarakat, apalagi masyarakat tradisional, memang masih memerlukan panduan-panduan di dalam memahami suatu masalah atau persoalan, apalagi persoalan yang berhubungan dengan perilaku berbangsa dan bernegara.. Selain itu, haruslah disadari bahwa urusan informasi dan komunikasi bukanlah semata-mata urusan lembaga atau departemen saja, tetapi lebih berhubungan dengan kemampuan berkomunikasi seseorang..
Sebagai contoh, Bung Karno jelas bukanlah sosok pemimpin yang memerlukan juru bicara. Karena secara kemampuan, Bung Karno adalah seorang orator dan komunikator yang hebat dan handal. Seseorang yang mampu menerjemahkan ide-ide brilyan-nya dengan kata-kata secara sederhana yang menyihir sehingga dapat diterima oleh masyarakat dari golongan elit hingga akar rumput.
Tentu tidak demikian dengan Pak Harto, yang secara kasat mata tidak memiliki kemampuan oratorial yang hebat, apalagi berperan sebagai komunikator. Tetapi sebagai pemimpin negara, haruslah diakui bahwa Pak Harto adalah pemikir yang hebat dan penyusun strategi yang jempolan.
Menyadari dirinya bukanlah tipe seperti Bung Karno yang jago pidato, seorang orator, dan komunikator, bahkan provokator yang hebat, maka di dalam menerjemahkan ide atau pemikiran-pemikirannya, Pak Harto memerlukan juru bicara, yang secara departemental diwujudkan melalui Departemen Penerangan. Tetapi keberadaan Departemen Penerangan sebenarnya tidaklah cukup. Maka, dibuatlah sebuah sistem yang nantinya dapat mengontrol keberadaan media massa, baik media cetak, elektronik maupun penyiaran.
Di Jembrana
Bagaimana dengan Kabupaten Jembrana? Secara sederhana, sesungguhnya Kabupaten Jembrana diuntungkan dengan keberadaan sosok Prof. Dr. I Gede Winasa sebagai bupati. Karena dari sisi informasi dan komunikasi, Prof. Winasa adalah sosok news maker. Dalam artian, apa yang diungkapkan atau diucapkannya pasti memiliki nilai berita (news value) yang tinggi dan enak untuk diwartakan. Belum lagi kalau ditilik dari sisi intelektualitas dan intelegensia yang menjadi anugrah bagi Prof. Winasa, maka ide-ide yang dilontarkannya tentu akan memiliki bobot informasi yang tinggi dan pantas untuk dijual.
Sebagai News Maker, Prof. Winasa jelas tidak memerlukan juru bicara lagi. Karena Prof. Winasa sendiri adalah juru bicara yang hebat dan handal. Tetapi pada posisi politis, dalam hal ini sebagai Bupati Jembrana dan juga sebagai pemikir dengan ide-ide inovatif yang kaya imajinasi, Prof. Winasa jelas memerlukan juru bicara. Tapi tentu saja, seorang juru bicara yang memiliki kemampuan dan keliaran imajinasi yang minimal sama. Dan itu, memang sulit!
Bagaimanapun juga, demi sempurnanya sebuah kerja dan kinerja, langkah-langkah ke arah perbaikan pengelolaan manajemen informasi dan komunikasi, baik dari sisi sistem maupun kualitas sumber daya manusia (SDM), harus dilakukan sesegera mungkin. Karena saat ini, kita berada pada suatu masa yang mengharuskan kita untuk bergegas, meskipun bukan berarti ceroboh. Kalau tidak, maka kerja besar yang telah dilakukan selama ini akan menjadi sia-sia dan lewat begitu saja. Sungguh pantas untuk disayangkan.
Demikian juga ketika Kepala Bawasda Jembrana menyatakan akan adanya indikasi penurunan kinerja oleh lembaga yang berurusan dengan pelayanan publik. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya manajemen informasi dan komunikasi sehingga tidak terjadi interaksi informasi komunikasi antara pemerintah, medi, dan masyarakat (miss communication).
Jika hal seperti ini sering terjadi, citra Kabupaten Jembrana akan terpuruk dan berada pada wilayah syakwasangka sosial, yang disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat akan apa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini.
Mungkin itu dulu.
Tentu bukanlah sesuatu yang haram atau keliru jika pemerintah menginformasikan segala perilaku ketatapemerintahan dan pembangunannya kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di sebuh negara.. Karena bagaimanapun juga, telah menjadi tugas dan kewajiban pemerintahlah untuk melaporkan atau menginformasikan setiap perilakunya kepada masyarakat, sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban kerja dan kinerjanya, termasuk juga pengabdiannya. Karena seperti yang sering dilontarkan secara awam, bahwa yang dikelola pemerintah itu adalah uang rakyat, bukan uang nenek moyangnya.
Kegagalan di dalam mengelola manajemen informasi dan komunikasi dari sebuah pemerintahan sering mendatangkan dampak buruk bagi pemerintahan itu sendiri. Tetapi hal ini bukanlah berarti bahwa pemerintah harus tunduk dan takluk kepada kemauan media sehingga menjadi takut kalau diwartakan sisi buruknya. Karena sebagai pilar demokrasi ke empat, media sejatinya memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah di dalam membangun peradaban dan keadaban bangsanya. Meskipun juga harus diakui, memang tidak banyak media yang menyadari akan kesejatiannya itu.
Deppen?
Haruslah diakui, salah satu kehebatan pemerintahan Orde Baru dengan patron Jenderal Besar Soeharto adalah kemampuannya di dalam mengendalikan arus informasi dan komunikasi secara absolut sehingga menjadi sangat memihak kepada kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan negara. Di sini terpatri nama-nama besar dibidangnya, seperti Ali Murtopo dan Harmoko, dengan ucapan pembukanya yang khas; “menurut petunjuk Bapak Presiden”, sebagai pemain utama di bidang informasi dan komunikasi.
Ketika di awal-awal reformasi, mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengambil langkah radikal dengan membubarkan Departemen Penerangan, dan juga Departemen Sosial. Sangat terasa terjadinya guncangan-guncangan kecil yang berhubungan dengan pertanyaan yang mengambang mengenai apa dan siapa yang harus mengambil peran sebagai juru bicara atas nama negara. Dan kegamangan akan peran departemen sebagai juru bicara negara itu rupanya hingga kini tetap gamang dan tidak pernah jelas. Bahkan, menjadi semakin tidak jelas.
Alasan pembubaran Departemen Penerangan oleh Gus Dur yang dilatarbelakangi oleh keinginan mulia di dalam upaya membangun masyarakat madani di bidang informsi dan komunikasi memang tidaklah keliru. Mungkin hanya waktunya saja yang kurang tepat. Karena secara nyata, masyarakat, apalagi masyarakat tradisional, memang masih memerlukan panduan-panduan di dalam memahami suatu masalah atau persoalan, apalagi persoalan yang berhubungan dengan perilaku berbangsa dan bernegara.. Selain itu, haruslah disadari bahwa urusan informasi dan komunikasi bukanlah semata-mata urusan lembaga atau departemen saja, tetapi lebih berhubungan dengan kemampuan berkomunikasi seseorang..
Sebagai contoh, Bung Karno jelas bukanlah sosok pemimpin yang memerlukan juru bicara. Karena secara kemampuan, Bung Karno adalah seorang orator dan komunikator yang hebat dan handal. Seseorang yang mampu menerjemahkan ide-ide brilyan-nya dengan kata-kata secara sederhana yang menyihir sehingga dapat diterima oleh masyarakat dari golongan elit hingga akar rumput.
Tentu tidak demikian dengan Pak Harto, yang secara kasat mata tidak memiliki kemampuan oratorial yang hebat, apalagi berperan sebagai komunikator. Tetapi sebagai pemimpin negara, haruslah diakui bahwa Pak Harto adalah pemikir yang hebat dan penyusun strategi yang jempolan.
Menyadari dirinya bukanlah tipe seperti Bung Karno yang jago pidato, seorang orator, dan komunikator, bahkan provokator yang hebat, maka di dalam menerjemahkan ide atau pemikiran-pemikirannya, Pak Harto memerlukan juru bicara, yang secara departemental diwujudkan melalui Departemen Penerangan. Tetapi keberadaan Departemen Penerangan sebenarnya tidaklah cukup. Maka, dibuatlah sebuah sistem yang nantinya dapat mengontrol keberadaan media massa, baik media cetak, elektronik maupun penyiaran.
Di Jembrana
Bagaimana dengan Kabupaten Jembrana? Secara sederhana, sesungguhnya Kabupaten Jembrana diuntungkan dengan keberadaan sosok Prof. Dr. I Gede Winasa sebagai bupati. Karena dari sisi informasi dan komunikasi, Prof. Winasa adalah sosok news maker. Dalam artian, apa yang diungkapkan atau diucapkannya pasti memiliki nilai berita (news value) yang tinggi dan enak untuk diwartakan. Belum lagi kalau ditilik dari sisi intelektualitas dan intelegensia yang menjadi anugrah bagi Prof. Winasa, maka ide-ide yang dilontarkannya tentu akan memiliki bobot informasi yang tinggi dan pantas untuk dijual.
Sebagai News Maker, Prof. Winasa jelas tidak memerlukan juru bicara lagi. Karena Prof. Winasa sendiri adalah juru bicara yang hebat dan handal. Tetapi pada posisi politis, dalam hal ini sebagai Bupati Jembrana dan juga sebagai pemikir dengan ide-ide inovatif yang kaya imajinasi, Prof. Winasa jelas memerlukan juru bicara. Tapi tentu saja, seorang juru bicara yang memiliki kemampuan dan keliaran imajinasi yang minimal sama. Dan itu, memang sulit!
Bagaimanapun juga, demi sempurnanya sebuah kerja dan kinerja, langkah-langkah ke arah perbaikan pengelolaan manajemen informasi dan komunikasi, baik dari sisi sistem maupun kualitas sumber daya manusia (SDM), harus dilakukan sesegera mungkin. Karena saat ini, kita berada pada suatu masa yang mengharuskan kita untuk bergegas, meskipun bukan berarti ceroboh. Kalau tidak, maka kerja besar yang telah dilakukan selama ini akan menjadi sia-sia dan lewat begitu saja. Sungguh pantas untuk disayangkan.
Demikian juga ketika Kepala Bawasda Jembrana menyatakan akan adanya indikasi penurunan kinerja oleh lembaga yang berurusan dengan pelayanan publik. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya manajemen informasi dan komunikasi sehingga tidak terjadi interaksi informasi komunikasi antara pemerintah, medi, dan masyarakat (miss communication).
Jika hal seperti ini sering terjadi, citra Kabupaten Jembrana akan terpuruk dan berada pada wilayah syakwasangka sosial, yang disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat akan apa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini.
Mungkin itu dulu.

Buka Semua Folder
Tutup Semua Folder
Mari bangun masyarakat madani di bidang Infokom. Keterlibatan masyarakat untuk mengontrol setiap pembangunan ataupun sebuah kebijakan akan memiliki nilai lebih bagi tercapainya sebuah kesempurnaan...
Amin